Sumber: Harian KONTAN
Hari Senin tanggal 5 Januari 2009
Oleh: Thomas Hadiwinata
Korban Accumulator
Menggadaikan Warisan di Singapura
Kisah sedih tentang krisis keuangan global belum seberapa. Kemarin-kemarin, kita baru mendengar kerugian para investor di bursa saham. Sementara cerita nasabah bank yang bangkrut karena bermain produk derivative di saat krisis belum banyak terdengar. Padahal nilai kerugian investor di produk terstruktur ini tak kalah massif. Simak saja kisah Sari, seorang warga Surabaya.
Kesulitan bisa datang dari mana saja. Sari, nama samara seorang warga di Surabaya, menyebut kefasihannya berbahasa Inggris sebagai asal muasal ia menjadi korban transaksi derivative valuta ini.
Selama ini Sari menjadi nasabah sebuah bank asing asal Amerika Serikat, kita sebut saja Bank Krisis. Bank itu menawarkan produk accumulator karena perempuan berumur sekitar 40 tahunan ini menyimpan dana lebih dari US$ 4 juta. “Padahal tidak semua uang itu milik saya”, ujarnya kepada KONTAN saat mengawali kisah sedih ini di kantor pengacara Agustinus Hutajulu, akhir pekan lalu.
Sari ingat, awal menjadi nasabah Bank Krisis 1990-an silam. Ia mewarisi uang milik kedua orangtuanya. Ada banyak alas an sehingga Sari yang tinggal di Surabaya mau repot-repot menyimpan uang dalam bentuk deposito dolar di Bank Krisis cabang Singapura.
Di saat krisis moneter menimpa Indonesia, lima-enam kerabat sari ikut menitipkan dana di depositonya. Para kerabat ini tak mau repot membuka rekening baru dan memilih menitipkannya kepada Sari yang dianggap faham karena fasih berbahasa Inggris.
Karena tak pernah diutak-atik, tentu deposito berjangka itu menggendut seiring perjalanan waktu. Pada 2006, Sari yang meskipun termasuk well off namun belum bisa disebut super kaya, masuk ke dalam radar manajer pemasar produk accumulator Bank Krisis.
Setelah empat kali mendapatkan penawaran, akhirnya Sari bersedia menemui sang pemasar. Sari yang sehari-hari tinggal di Surabaya dan sang pemasar yang berkantor di Singapura sepakat untuk bertatap muka di Jakarta.
Sang pemasar accumulator menggelar presentasi di coffee lounge Hotel Grand Hyatt, Jakarta. “Bagi nasabah yang dananya di atas US$ 5 juta, mereka presentasi di business lounge di lantai 22 Grand Hyatt,” ujar Sari.
Singkat kata, sang pemasar berhasil meyakinkan Sari. Ada satu kalimat sang manajer yang diingat betul oleh Sari, “Anda tak perlu takut, toh yang dimainkan dalam transaksi ini bukan uang anda, tapi uang bank.” Jika melihat cara kerja accumulator, kalimat sang manajer ini benar-benar menyesatkan.
Beginilah kurang lebih, mekanisme accumulator. Bank Krisis menyalurkan pinjaman dalam mata uang yen kepada Sari, sebesar nilai deposito Sari. Supaya tak menimbulkan kecurigaan karena seorang ibu rumah tangga bisa mendapat pinjaman yen, Bank Krisis merancang sebuah skema.
Kredit mengalir ke rekening perusahaan yang berbasis di Swiss sebagai proksi dari Sari. Perusahaan inilah yang namanya tercatat di buku bank sebagai debitur. Perusahaan ini juga yang menjadi proksi Sari dalam menjual dan membeli berbagai produk derivative.
Sementara peran Sari sebagai nasabah adalah merelakan depositonya sebagai jaminan transaksi.
Cara accumulator mendulang untung tak ubahnya dengan transaksi carry forward. Intinya, Sari meminjam valuta rendah, lalu kemudian menginvestasikannya ke mata uang yang berbunga tinggi. Tentu transaksi carry forward ini tak lepas dari asumsi bahwa nilai tukar kedua valuta tak akan mengalami fluktuasi yang drastis.
Sepanjang 2007, Sari sempat mendulang untung dari accumulator. Bank Krisis pun pernah menaikkan pagu pinjaman Sari sampai US$ 11 juta. Namun bulan madu Sari dengan accumulator tidak berlangsung lama. Ia mengingat petugas Bank Krisis menghubunginya di masa libur Lebaran. Kabarnya singkat dan membingungkan Sari. Ia diminta menambah isi deposito sebagai jaminan atau melikuidasi asset.
Sari pun berangkat ke Singapura pada 7 Oktober untuk mencari tahu. “Baru saat itu saya benar-benar membaca kontraknya yang mengatakan bahwa deposito saya menjadi jaminan accumulator,” ucapnya sedih.
Menurut hitungan sang bankir, jika Sari memilih melikuidasi seluruh asetnya, masih ada peluang ia akan mendapatkan dana sekitar US$ 300.000. Daripada kehilangan seluruh duit, Sari pun mengiyakan.
Namun sungguh perubahan angin di pasar uang saat itu sedang keras-kerasnya. Sekedar mengingatkan, di pekan-pekan itulah, nilai tukar yen melonjak drastic terhadap dollar Amerika dari 120 yen per dolar AS menjadi 80 yen per dolar AS. Sementara valuta yang menjadi mesin pemutar asset accumulator, mulai dari dolar Australia, dolar Selandia Baru, maupun rupiah, justru longsor nilainya.
Permintaan likuidasi Sari baru terlaksana empat hari kemudian. “Bank saya kesulitan mencari lawan pembeli,” tutur Sari. Karena waktu likuidasi berbeda, tentulah hitungan kerugian berbeda pula.
Sari tak Cuma kehilangan seluruh depositonya. Ia juga masih harus membayar kerugian sekitar US$ 600.000 karena di saat melikuidasi accumulator, nilai yen sedang tinggi-tingginya.
Sari mengaku tak sanggup menutup kerugian yang tersisa. “Saya minta bank member keringanan. Toh manajernya tak member penjelasan lengkap,” tukasnya pahit.
Kini Sari belum menemukan cara menjelaskan kisah tragis ini pada kerabatnya.
Disclaimer: kebenaran mengenai mekanisme produk accumulator menjadi tanggung jawab penulis |
Comments